Selasa, 22 Juli 2025

PIWULANG LUHUR SERAT KALATIDHA

 Serat Kalatidha (bahasa Jawa꧋ꦱꦼꦫꦠ꧀ ꦏꦭꦠꦶꦣ꧈) adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa karangan Raden Ngabehi Rangga Warsita berbentuk tembang macapat. Karya sastra ini ditulis kurang lebih pada tahun 1860 Masehi. Kalatidha adalah salah satu karya sastra Jawa yang ternama. Bahkan sampai sekarang banyak orang Jawa terutama kalangan tua yang masih hafal paling tidak satu bait syair ini.

SERAT Kalatidha melukiskan keadaan Zaman Gemblung. Zaman di mana manusia dihadapkan pada pilihan dilematis yang merepotkan. Sehingga Zaman Gemblung bisa diidentikkan zaman bingung atau zaman kegelapan (zaman edan).

Syair Kalatidha bisa dibagi menjadi tiga bagian: bagian pertama adalah bait 1 sampai 6, bagian kedua adalah bait 7 dan bagian ketiga adalah bait 8 sampai 12. Bagian pertama adalah tentang keadaan masa Rangga Warsita yang menurut ialah tanpa prinsip. Bagian kedua isinya adalah ketekadan dan sebuah introspeksi diri. Sedangkan bagian ketiga isinya adalah sikap seseorang yang taat dengan agama di dalam masyarakat.

Berikut isi dari serat Kalatidha.

1.   Mangkya darajating praja
kawuryan wus sunya-ruri
rurah pangrehing ukara
karana tanpa palupi. 
Ponang parameng-kawi
kawileting tyas malatkung
kongas kasudranira
tidhem tandhaning dumadi.
Hardayengrat dening karoban rubeda.

Artinya: Keadaan negara yang demikian merosot. Karena tidak ada lagi yang memberi tauladan. Banyak yang meninggalkan norma-norma kehidupan. Para cerdik pandai terbawa arus zaman yang penuh keragu-raguan. Suasana mencekam. Karena dunia sudah penuh masalah.

2.   Ratune ratu utama
patihe patih linuwih
pra nayaka tyas raharja
panekare becik-becik
parandene tan dadi
paliyasing kalabendu
Malah sangkin andadra
rubeda kang ngreribedi.
Beda-beda hardane wong sanagara.

Artinya: Sebenarnya baik raja, patih, pimpinan lainnya maupun para pemuka masyarakatnya. Semuanya baik. Tetapi tidak menghasilkan kebaikan. Hal ini karena kekuatan zaman kalabendu. Justu semakin menjadi-jadi. Masalah semakin banyak. Pendapat orang satu negara berbeda-beda. 

3.   Katatangi tangisira
sira sang parameng kawi
kawileting tyas duhtita
kataman ing reh wirangi
dening upaya sandi
sumaruna anarawang
panglipur manuhara
met pamrih melik pakolih
temah suh-ha ing karsa tanpa weweka

Artinya: Hati rasanya menangis penuh kesedihan karena dipermalukan. Karena perbuatan seseorang yang seolah memberi harapan. Karena ada pamrih untuk mendapatkan sesuatu. Karena terlalu gembira sang pujangga kehilangan kewaspadaan.

4.   Dhasar karoban pawarta
babaratan ujar lamis
pinudya dadya pangarsa
wekasan malah kawuri.
Yen pinikir sayekti
pedah apa aneng ngayun
andhedher kaluputan
siniraman banyu lali.
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.

Artinya: Karena terlalu banyak kabar angin yang beredar. Akan diposisikan sebagai pimpinan. Tetapi akhirnya justru ditaruh di belakang dan dilupakan. Sebenarnya kalau direnungkan. Apa manfaatnya menjadi pimpinan. Kalau hanya menebar benih kesalahan. Lebih-lebih bila lupa. Hasilnya hanya mengakibatkan kesusahan.

5.   Ujaring Panitisastra
awawarah asung peling
ing jaman keneng musibat
wong ambek jatmika kontit.
Mangkono yen niteni.
Pedah apa amituhu
pawarta lalawora
mundhak angroronta ati.
Angur-baya ngiketa cariteng kuna.

Artinya: Menurut para ahli sastra. Sebenarnya sudah ada peringatan. Di zaman yang penuh musibah ini. Orang yang berbudi akan ditinggalkan. Demikian pula kalau kita perhatikan. Apa manfaatnya percaya pada desas-desus. Lebih baik menulis kisah lama.

6.   Keni kinarya darsana
palimbang ala lan becik.
Sayekti akeh kewala
lalakon kang dadi tamsil
masalahing ngaurip
wahanira tinemu
temahan anarima
mupus papasthening takdir
puluh-puluh anglakoni kaelokan.

Artinya: Kisah ini bisa dijadikan cermin dalam menimbang hal-hal baik dan buruk. Sebenarnya banyak kisah lama yang dapat dijadikan contoh. Mengenai masalah-masalah dalam kehidupan. Setelah ketemu akhirnya bisa berserah diri pada kehendak takdir atas hal-hal elok yang terjadi.

7.   Amenangi jaman edan

ewuh aya ing pambudi

Melu edan nora tahan

yen tan milu anglakoni

boya kaduman melik

kaliren wakasanipun.

Dilalah kersa Allah

begja-begjaning kang lali

luwih begja kang eling lan waspada.

Artinya: Mengalami hidup pada zaman edan. Memang serba repot. Ikut edan hati tidak sampai. Kalau tidak mengikuti. Tidak kebagian apa-apa. Akhirnya bisa kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Allah. Bagaimanapun beruntungnya orang yang lupa. Masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada.

8.   Samono iku babasan
padu-paduning kapengin
enggih makoten Man Doplang
bener ingkang ngarani
nanging sajroning batin
sejatine nyamut-nyamut.
Wis tuwa arep apa
muhung mahasing ngasepi
supayantuk parimamaning Hyang Suksma.

Artinya: Hal itu sebenarnya karena ada keinginan. Begitu kan paman Doblang? Kalau ada yang mengatakan begitu. Memang benar. Tetapi dalam hati memang susah juga. Sekarang sudah tua. Mau mencari apa lagi. Lebih baik menyepi agar mendapat ampunan Tuhan.

9.   Beda lan kang wus santosa
kinarilan ing Hyang Widhi
satiba malanganeya
tan susah ngupaya kasil
saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
marga samaning titah
rupa sabarang pikolih
parandene masih taberi ikhtiyar.

Artinya: Lain dengan yang sudah sentausa. Mendapatkan rahmat Allah. Nasibnya selalu baik. Tidak sulit upayanya. Selalu memperoleh hasil. Tuhan selalu memberi pertolongan. Memberi jalan pada semua umatnya. Sehingga memperoleh semuanya. Tetapi manusia tetaplah berikhtiar.

10.            Sakadare linakonan

mung tumindak mara ati

angger tan dadi prakara

karana wirayat muni

ikhtiyar iku yekti

pamilihe reh Rahayu

sinambi budi daya

kanthi awas lawan eling

kang kaesthi antuka parmaning Suksma.

Artinya: Kita laksanakan, apapun, sekadarnya. Perbuatan yang menyenangkan dan tidak menimbulkan masalah. Karena sudah dikatakan. Manusia wajib ikhtiar. Melalui jalan yang benar. Sembari berikhtiar tersebut. Manusia harus terap awas dan ingat. Supaya mendapatkan rahmat Tuhan.

11.            Ya Allah ya Rasulullah
kang sipat murah lan asih
mugi-mugi aparinga
pitulung ingkang nartani
ing alam awal akhir
dumunung ing gesang ulun
mangkya sampun awredha
ing wekasan kadi pundi
mila mugi wontena pitulung Tuwan.


Artinya: Ya Allah, ya Rasulullah yang bersifat pemurah dan pengasih. Kiranya berkenan memberi pertolongan. Dalam alam awal dan akhir. Dalam kehidupanku. Sekarang hamba sudah tua. Akhir nanti seperti apa. Kiranya mendapatkan pertolongan Allah.

12.            Sageda sabar santosa
mati sajroning ngaurip kalis
ing reh huru-hara
murka angkara sumingkir
tarlen meleng melatsih
sanityaseng tyas mamatuh
badharing sapudhendha
antuk wajar sawatawis
borong angga suwarga mesi martaya.


Artinya: Kiranya aku mampu sabar dan sentausa. Mati dalam hidup. Terbebas dari semua kerepotan. Angkara murka menyingkir. Aku hanya memohon karunia-Mu. Guna mendapat ampunan. Diberi sekadar keringanan. Aku serahkan jiwa dan raga hamba.

 

Ajaran dalam Serat Kalatidha

Sekalipun Serat Kalatidha melukiskan tentang keadaan Zaman Gemblung, namun menyiratkan ajaran-ajaran kearifan R.Ng. Ranggawarsita III. Berikut adalah ajaran-ajaran kearifan Ranggawarsita yang dapat kita tangkap dari Serat Kalatidha:

1.     Bila Zaman Gemblung datang, banyak orang meninggalkan norma-norma. Banyak pemimpin negara dan masyarakat yang baik namun tidak membuahkan kemaslahatan. Para cerdik pandai yang kehilangan keyakinannya kemudian hidup dalam keragu-raguan. Bahkan seorang pujangga kehilangan kewaspadaan. Mudah tergiur dengan janji-janji muluk dari para pemimpin negara. Alhasil, sang pujangga terseret ke dalam kedukaan dan penderitaan.Manakala kehidupan sedang dililit oleh Zaman Gemblung, manusia yang baik disingkirkan oleh negara. Sementara manusia jahat yang suka menjilat-jilat serupa kucing demi pepes ikan itu justru dirangkul oleh negara. Akibatnya banyak punggawa negara dihadapkan pada pilihan yang merepotkan. Tetap bertahan sebagai manusia baik namun disingkirkan, atau berbuat jahat untuk mendapatkan pujian (pangkat) dari rajanya.Pada Zaman Gemblung di mana kebajikan yang tidak pernah membuahkan kebajikan merupakan waktu tepat bagi manusia untuk berserah diri pada Tuhan. Hanya dengan cara demikian, manusia akan selalu ingat pada Tuhan dan waspada terhadap geliat zaman. Hal ini sejalan dengan pandangan Ranggawarsita: "Beruntungnya orang yang lupa. Masih lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada."

2.     Sekalipun manusia yang berbuat kebajikan tidak pernah melahirkan kebajikan pada Zaman Gemblung, namun tidak boleh untuk berputus asa. Sebaliknya, manusia harus terus berikhtiar untuk menjalani hidup di Zaman Gemblung dengan melakukan kebajikan. Perihal hasil dari ikhtiar tersebut, hendaklah diserahkan kepada kebijaksanaan Tuhan. Inilah sikap optimis dan sangat arif untuk dilaksanakan oleh setiap manusia yang tengah dihadapkan pada zaman kegelapan.

3.     Agar selalu waras manakala tengah menghadapi Zaman Gemblung, tidak ada langkah bijak selain bersikap sabar untuk mensentausakan jiwa. Dengan selalu sabar, manusia akan menjadi tenang. Dengan ketenangan, manusia akan tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Sehingga manusia akan meraih kebahagiaan sejati sekalipun hidup dalam kemelaratan materi dan tidak memiliki jabatan tinggi sebagaimana diraih oleh kaum penjilat dan selalu mengkhalalkan segala cara.

Sumber:

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Serat Kalatidha, Ajaran Ranggawarsita pada Zaman Kegelapan", Klik untuk baca:

https://www.kompasiana.com/achmadeswa/5d22c586097f3664002f39a2/serat-kalatidha-ajaran-ranggawarsita-pada-era-zaman-kegelapan?page=all#section1

Kreator: Sri Wintala Achmad

https://id.wikipedia.org/wiki/Serat_Kalatidha


Tidak ada komentar:

Posting Komentar