Serat Kalatidha (bahasa Jawa: ꧋ꦱꦼꦫꦠ꧀ ꦏꦭꦠꦶꦣ꧈) adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa karangan Raden Ngabehi Rangga Warsita berbentuk tembang macapat. Karya sastra ini ditulis kurang lebih pada tahun 1860 Masehi. Kalatidha adalah salah satu karya sastra Jawa yang ternama. Bahkan sampai sekarang banyak orang Jawa terutama kalangan tua yang masih hafal paling tidak satu bait syair ini.
SERAT
Kalatidha melukiskan keadaan Zaman Gemblung. Zaman di mana manusia dihadapkan pada pilihan
dilematis yang merepotkan. Sehingga Zaman Gemblung bisa diidentikkan zaman
bingung atau zaman kegelapan (zaman edan).
Syair Kalatidha bisa
dibagi menjadi tiga bagian: bagian pertama adalah bait 1 sampai 6, bagian kedua
adalah bait 7 dan bagian ketiga adalah bait 8 sampai 12. Bagian pertama adalah
tentang keadaan masa Rangga Warsita yang menurut ialah tanpa prinsip. Bagian
kedua isinya adalah ketekadan dan sebuah introspeksi diri. Sedangkan bagian
ketiga isinya adalah sikap seseorang yang taat dengan agama di dalam
masyarakat.
Berikut
isi dari serat Kalatidha.
1. Mangkya darajating praja
kawuryan wus sunya-ruri
rurah pangrehing ukara
karana tanpa palupi.
Ponang parameng-kawi
kawileting tyas malatkung
kongas kasudranira
tidhem tandhaning dumadi.
Hardayengrat dening karoban rubeda.
Artinya:
Keadaan negara yang demikian merosot. Karena tidak ada lagi yang memberi
tauladan. Banyak yang meninggalkan norma-norma kehidupan. Para cerdik pandai
terbawa arus zaman yang penuh keragu-raguan. Suasana mencekam. Karena dunia
sudah penuh masalah.
2. Ratune ratu utama
patihe patih linuwih
pra nayaka tyas raharja
panekare becik-becik
parandene tan dadi
paliyasing kalabendu
Malah sangkin andadra
rubeda kang ngreribedi.
Beda-beda hardane wong sanagara.
Artinya:
Sebenarnya baik raja, patih, pimpinan lainnya maupun para pemuka masyarakatnya.
Semuanya baik. Tetapi tidak menghasilkan kebaikan. Hal ini karena kekuatan
zaman kalabendu. Justu semakin menjadi-jadi. Masalah semakin banyak. Pendapat
orang satu negara berbeda-beda.
3. Katatangi tangisira
sira sang parameng kawi
kawileting tyas duhtita
kataman ing reh wirangi
dening upaya sandi
sumaruna anarawang
panglipur manuhara
met pamrih melik pakolih
temah suh-ha ing karsa tanpa weweka
Artinya:
Hati rasanya menangis penuh kesedihan karena dipermalukan. Karena perbuatan
seseorang yang seolah memberi harapan. Karena ada pamrih untuk mendapatkan
sesuatu. Karena terlalu gembira sang pujangga kehilangan kewaspadaan.
4. Dhasar karoban pawarta
babaratan ujar lamis
pinudya dadya pangarsa
wekasan malah kawuri.
Yen pinikir sayekti
pedah apa aneng ngayun
andhedher kaluputan
siniraman banyu lali.
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.
Artinya:
Karena terlalu banyak kabar angin yang beredar. Akan diposisikan sebagai
pimpinan. Tetapi akhirnya justru ditaruh di belakang dan dilupakan. Sebenarnya
kalau direnungkan. Apa manfaatnya menjadi pimpinan. Kalau hanya menebar benih
kesalahan. Lebih-lebih bila lupa. Hasilnya hanya mengakibatkan kesusahan.
5. Ujaring Panitisastra
awawarah asung peling
ing jaman keneng musibat
wong ambek jatmika kontit.
Mangkono yen niteni.
Pedah apa amituhu
pawarta lalawora
mundhak angroronta ati.
Angur-baya ngiketa cariteng kuna.
Artinya:
Menurut para ahli sastra. Sebenarnya sudah ada peringatan. Di zaman yang penuh
musibah ini. Orang yang berbudi akan ditinggalkan. Demikian pula kalau kita
perhatikan. Apa manfaatnya percaya pada desas-desus. Lebih baik menulis kisah
lama.
6. Keni kinarya darsana
palimbang ala lan becik.
Sayekti akeh kewala
lalakon kang dadi tamsil
masalahing ngaurip
wahanira tinemu
temahan anarima
mupus papasthening takdir
puluh-puluh anglakoni kaelokan.
Artinya:
Kisah ini bisa dijadikan cermin dalam menimbang hal-hal baik dan buruk.
Sebenarnya banyak kisah lama yang dapat dijadikan contoh. Mengenai
masalah-masalah dalam kehidupan. Setelah ketemu akhirnya bisa berserah diri
pada kehendak takdir atas hal-hal elok yang terjadi.
7.
Amenangi
jaman edan
ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wakasanipun.
Dilalah kersa Allah
begja-begjaning kang lali
luwih begja kang eling lan waspada.
Artinya:
Mengalami hidup pada zaman edan. Memang serba repot. Ikut edan hati tidak
sampai. Kalau tidak mengikuti. Tidak kebagian apa-apa. Akhirnya bisa kelaparan.
Namun sudah menjadi kehendak Allah. Bagaimanapun beruntungnya orang yang lupa.
Masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada.
8. Samono iku babasan
padu-paduning kapengin
enggih makoten Man Doplang
bener ingkang ngarani
nanging sajroning batin
sejatine nyamut-nyamut.
Wis tuwa arep apa
muhung mahasing ngasepi
supayantuk parimamaning Hyang Suksma.
Artinya:
Hal itu sebenarnya karena ada keinginan. Begitu kan paman Doblang? Kalau ada
yang mengatakan begitu. Memang benar. Tetapi dalam hati memang susah juga.
Sekarang sudah tua. Mau mencari apa lagi. Lebih baik menyepi agar mendapat
ampunan Tuhan.
9. Beda lan kang wus santosa
kinarilan ing Hyang Widhi
satiba malanganeya
tan susah ngupaya kasil
saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
marga samaning titah
rupa sabarang pikolih
parandene masih taberi ikhtiyar.
Artinya:
Lain dengan yang sudah sentausa. Mendapatkan rahmat Allah. Nasibnya selalu
baik. Tidak sulit upayanya. Selalu memperoleh hasil. Tuhan selalu memberi
pertolongan. Memberi jalan pada semua umatnya. Sehingga memperoleh semuanya.
Tetapi manusia tetaplah berikhtiar.
10.
Sakadare
linakonan
mung tumindak mara ati
angger tan dadi prakara
karana wirayat muni
ikhtiyar iku yekti
pamilihe reh Rahayu
sinambi budi daya
kanthi awas lawan eling
kang kaesthi antuka parmaning Suksma.
Artinya:
Kita laksanakan, apapun, sekadarnya. Perbuatan yang menyenangkan dan tidak
menimbulkan masalah. Karena sudah dikatakan. Manusia wajib ikhtiar. Melalui
jalan yang benar. Sembari berikhtiar tersebut. Manusia harus terap awas dan
ingat. Supaya mendapatkan rahmat Tuhan.
11.
Ya
Allah ya Rasulullah
kang sipat murah lan asih
mugi-mugi aparinga
pitulung ingkang nartani
ing alam awal akhir
dumunung ing gesang ulun
mangkya sampun awredha
ing wekasan kadi pundi
mila mugi wontena pitulung Tuwan.
Artinya: Ya Allah, ya Rasulullah yang bersifat pemurah dan pengasih. Kiranya
berkenan memberi pertolongan. Dalam alam awal dan akhir. Dalam kehidupanku.
Sekarang hamba sudah tua. Akhir nanti seperti apa. Kiranya mendapatkan
pertolongan Allah.
12.
Sageda
sabar santosa
mati sajroning ngaurip kalis
ing reh huru-hara
murka angkara sumingkir
tarlen meleng melatsih
sanityaseng tyas mamatuh
badharing sapudhendha
antuk wajar sawatawis
borong angga suwarga mesi martaya.
Artinya: Kiranya aku mampu sabar dan sentausa. Mati dalam hidup. Terbebas dari
semua kerepotan. Angkara murka menyingkir. Aku hanya memohon karunia-Mu. Guna
mendapat ampunan. Diberi sekadar keringanan. Aku serahkan jiwa dan raga hamba.
Ajaran
dalam Serat Kalatidha
Sekalipun
Serat Kalatidha melukiskan tentang keadaan Zaman Gemblung, namun menyiratkan
ajaran-ajaran kearifan R.Ng. Ranggawarsita III. Berikut adalah ajaran-ajaran
kearifan Ranggawarsita yang dapat kita tangkap dari Serat Kalatidha:
1. Bila Zaman Gemblung datang, banyak orang
meninggalkan norma-norma. Banyak pemimpin negara dan masyarakat yang baik namun
tidak membuahkan kemaslahatan. Para cerdik pandai yang kehilangan keyakinannya
kemudian hidup dalam keragu-raguan. Bahkan seorang pujangga kehilangan
kewaspadaan. Mudah tergiur dengan janji-janji muluk dari para pemimpin negara.
Alhasil, sang pujangga terseret ke dalam kedukaan dan penderitaan.Manakala
kehidupan sedang dililit oleh Zaman Gemblung, manusia yang baik disingkirkan
oleh negara. Sementara manusia jahat yang suka menjilat-jilat serupa kucing
demi pepes ikan itu justru dirangkul oleh negara. Akibatnya banyak punggawa
negara dihadapkan pada pilihan yang merepotkan. Tetap bertahan sebagai manusia
baik namun disingkirkan, atau berbuat jahat untuk mendapatkan pujian (pangkat)
dari rajanya.Pada Zaman Gemblung di mana kebajikan yang tidak pernah membuahkan
kebajikan merupakan waktu tepat bagi manusia untuk berserah diri pada Tuhan.
Hanya dengan cara demikian, manusia akan selalu ingat pada Tuhan dan waspada
terhadap geliat zaman. Hal ini sejalan dengan pandangan Ranggawarsita:
"Beruntungnya orang yang lupa. Masih lebih beruntung orang yang selalu
ingat dan waspada."
2. Sekalipun manusia yang berbuat kebajikan
tidak pernah melahirkan kebajikan pada Zaman Gemblung, namun tidak boleh untuk
berputus asa. Sebaliknya, manusia harus terus berikhtiar untuk menjalani hidup
di Zaman Gemblung dengan melakukan kebajikan. Perihal hasil dari ikhtiar
tersebut, hendaklah diserahkan kepada kebijaksanaan Tuhan. Inilah sikap optimis
dan sangat arif untuk dilaksanakan oleh setiap manusia yang tengah dihadapkan
pada zaman kegelapan.
3. Agar selalu waras manakala tengah
menghadapi Zaman Gemblung, tidak ada langkah bijak selain bersikap sabar untuk
mensentausakan jiwa. Dengan selalu sabar, manusia akan menjadi tenang. Dengan
ketenangan, manusia akan tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Sehingga
manusia akan meraih kebahagiaan sejati sekalipun hidup dalam kemelaratan materi
dan tidak memiliki jabatan tinggi sebagaimana diraih oleh kaum penjilat dan
selalu mengkhalalkan segala cara.
Sumber:
Konten
ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Serat Kalatidha, Ajaran
Ranggawarsita pada Zaman Kegelapan", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/achmadeswa/5d22c586097f3664002f39a2/serat-kalatidha-ajaran-ranggawarsita-pada-era-zaman-kegelapan?page=all#section1
Kreator:
Sri Wintala Achmad
https://id.wikipedia.org/wiki/Serat_Kalatidha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar