Durung mudheng, apa pancen ora mudheng?
Oleh : Eko Wahyudi, S.Pd.
(Guru Bahasa Jawa SMK Negeri 1 Kedawung, Sragen)
Bahasa adalah suatu alat komunikasi. Dengan bahasa, manusia mampu
berinteraksi, saling menyampaikan informasi, saling mengungkapkan gagasan dan
saling hormat menghormati satu sama lain. Dengan bahasa pula, perpecahan dan perdamaian
dunia mampu tercipta. Begitu pula pada bahasa Jawa.
Tak luput dari fungsinya, bahasa Jawa juga merupakan suatu alat komunikasi
antar penutur Jawa itu sendiri. Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa ibu
yang masih hidup sampai sekarang. Hingga saat ini, bahasa Jawa menempati urutan
ke-11 dari 6.703 bahasa di seluruh dunia dengan penutur 75,5 juta penutur
(Wedhawati, 2005: 01).
Sampai saat ini pula, penutur bahasa Jawa tersebar di seluruh penjuru
Dunia seperti penduduk Jawa yang tinggal di Provinsi Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Lampung, sekitar Medan, dan
daerah-derah transmigrasi di Indonesia seperti sebagian Provinsi Riau, Jambi,
Kalimantan Tengah hingga ke manca negara, seperti: Surimane, Belanda, New
Koledonia dan Pantai Barat Johor (Wedhawati, 2005: 01).
Bahasa Jawa merupakan bahasa yang sangat istimewa dari bahasa lainnya.
Keistimewaan itu terlihat dari adanya tingkatan tutur (speech level), ragam ngoko
dan ragam bahasa krama (Sasangka,
2007: 103). Ragam ngoko digunakan
untuk suasana yang akrab, dan krama
untuk suasana yang lebih hormat (formal).
Dalam tataran fonologi, bahasa jawa juga mempunyai keistimewaan yang
lain juga terlihat dari alofon fonemnya, baik fonem vokal maupun konsonan. Alofon
ialah variasi bunyi bahasa. Sedangkan fonologi ialah cabang linguistik yang
membahas bunyi bahasa berdasarkan fungsinya (wedawati,2005:29). Pendapat lain
mengatakan bahwa fonologi ialah ilmu yang menyelidiki dan berusaha merumuskan
secara teratur dan sistem tentang ikhwal bunyi bahasa serta seluk beluknya
(Paina&Sumarlam,1996:01)
Fonem vokal bahasa Jawa terdiri dari 6 fonem, meliputi fonem /a, i, u, e,
ə, o/. Sedangkan, fonem konsonannya murni bahasa Jawa tercatat ada 20 buah. 20
buah tersebut antara lain, fonem /p, b,
m, w, ṭ, d, n, l, r, t, d, s, c, j, ñ, y, k, g, ŋ, h, ?/. Bahasa Jawa juga
mengenal fonem-fonem dari mancanegara, antara lain /f, x, z, sy, v, kh, q, sh,
dz/.
Terlepas dari
keistemewaan itu, banyak penutur bahasa Jawa yang kurang mampu dalam menuliskan
variasi-variasi bunyi fonem, baik bunyi fonem vokal maupun konsonan. Fenomena ini tidak hanya terjadi
dikalangan masyarakat dengan pendidikan menengah kebawah hingga kalangan
mahasiswapun turut melakukan kesalahan tersebut.
. Karena luasnya masalah, kajian ini hanya terbatas
pada masalah fonem vokal saja. Sedangkan pada fonem konsonan tidak akan dibahas
pada kesempatan ini. Pada tatran fonem vokal, ini dapat
terlihat dari kasus penulisan berikut. Kata lara
(sakit) ditulis loro, sehingga dapat
memicu kebingungan dalam memahaminya yang mungkin juga bermakna loro (angka dua). Begitu pula pada fonem konsonan, penulisan babad (sejarah) ditulis babat (daging).
Dalam penulisan alofon atau fariasi bunyi, sesungguhnya apa yang kita
dengar belum tentu struktur penulisannya seperti apa adanya (sesuai dengan apa
yang kita dengar), tetapi apa yang kita dengar seharus kita tulis sesuai kaidah
yang benar (tidak hanya waton nulis).
Pembahasan kesalahan penulisan fonem bahasa Jawa ini hanya akan sampai pada
tataran fonem vokal [a, i, u, e, ə] dikarenakan fonem ini merupakan fonem yang
paling sering kita jumpai dalam komunilkasi.
Pada fonem /a/, alofon atau bunyi bahasa yang dikeluarkan ada 2, yakni [a]
miring dan [Ɔ]
jejeg. Penulisan [a] miring seperti pada contoh penulisan ”lara”(sakit), walaupun yang kita dengar ”lƆrƆ”, maka kita tetap harus menuliskan
sesuai kaidahnya, yakni memakai [a]
miring, bukan menggunakan alofon fonem [Ɔ] jejeg. Apabila ditulis ”loro”, maka ini dapat menimbulkan ambigu, yang dapat bermakna sakit atau angka
dua. Selain kata lara, pada fonem /a/ masih banyak lagi kata-kata yang sering
kita temuai kekeliruan dalam penulisannya seperti upa, sega, nyawa, dan lain
lain, yang penulisannya cenderung upo, sego, nyowo.
Dasarnya penulisan fonem /a/ adalah aksara Jawa atau Dentawiyanjana. Yang memuat 20 huruf Jawa Legena (huruf yang belum mendapat pasangan/vokal). Aksara Jawa
tersebut adalah sebagai berikut.
ha na ca ra ka
da ta sa wa la
pa dha ja ya nya
ma ga ba tha nga
Pada aksara dentawiyanjana, walaupun penulisanya memakai [a] miring tetapi pelafalannya tetap
menggunakan bunyi [Ɔ] jejeg.
Dalam penulisan tembung lamba atau kata yang belum mendapat
imbuhan pada kata yang memakai fonem /a/, rata-rata menggunakan bunyi /Ɔ/ jejeg. Tetapi [Ɔ] jejeg, dapat berubah menjadi [a]
miring apabila mendapat imbuan –an, -ana, –é/né. Contohnya adalah sebagai berikut.
upa [upƆ] ‘upa + né ‘ = upane [upane] ‘butiran nasinya’
gula [gulƆ] ‘gula + an
‘ = gulanan [gulanan] ‘memakai gula’
lara [lƆrƆ]’ lara + né’ = larané
[larane]
‘sakitnya’
rega [rәgƆ] ‘rega + né’ = regané [rәgane]
‘harganya’
tapa [tƆpƆ] ’tapa + né = tapané [tapane]
‘tapanya’
segara [sәgƆrƆ] ‘segara + né’ = segarané [segarane] ‘lautnya
Jadi pada penulisan [Ɔ] jejeg yang sering penulis jumpai dalam
masyarakat, pada penulisan upo, gulo, loro, topo, dan segoro adalah belum tepat. Dan seharusnya penulisannya adalah
upa, gula, lara, tapa, dan segara.
Sebagian orang mungkin ingin adanya
usaha untuk membetulkan kesalahan tersebut, tetapi
di sisi lain banyak yang menganggapnya sudah kaprah (biasa) dan tidak
usah dipikirkan, karena hal tersebut tidak ada gunanya dan akan membuang-buang
tenaga saja. Hal yang tersebut tidak akan dibiarkan oleh seorang guru bahasa
Jawa demi pelestarian dan pembinaan bahasa Jawa pada saat ini dan yang akan
datang.
Masalah tersebut adalah jelas, nyata, dan memang harus segera ditangani,
agar sistem penulisan bahasa Jawa dapat
berjalan sesuai dengan kaidah menulis yang baku demi kelangsungan bahasa Jawa
di masa sekarang dan yang akan datang.
Daftar Pustaka
Paina&Sumarlam. 1996. Fonologi Bahasa Jawa. Surakarta: UNS.
Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2007.
Unggah-ungguh Basa Jawa. Jakarta: Yayasan Paramalingua.
Wedhawati, dkk. 2005. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta:
Kanisius.