Selasa, 13 Maret 2012

Kesalahan Penulisan Fonem Vokal Bahasa Jawa


Durung mudheng, apa pancen ora mudheng?

Oleh : Eko Wahyudi, S.Pd.
(Guru Bahasa Jawa SMK Negeri 1 Kedawung, Sragen)

Bahasa adalah suatu alat komunikasi. Dengan bahasa, manusia mampu berinteraksi, saling menyampaikan informasi, saling mengungkapkan gagasan dan saling hormat menghormati satu sama lain. Dengan bahasa pula, perpecahan dan perdamaian dunia mampu tercipta. Begitu pula pada bahasa Jawa.
Tak luput dari fungsinya, bahasa Jawa juga merupakan suatu alat komunikasi antar penutur Jawa itu sendiri. Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa ibu yang masih hidup sampai sekarang. Hingga saat ini, bahasa Jawa menempati urutan ke-11 dari 6.703 bahasa di seluruh dunia dengan penutur 75,5 juta penutur (Wedhawati, 2005: 01).
Sampai saat ini pula, penutur bahasa Jawa tersebar di seluruh penjuru Dunia seperti penduduk Jawa yang tinggal di Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Lampung, sekitar Medan, dan daerah-derah transmigrasi di Indonesia seperti sebagian Provinsi Riau, Jambi, Kalimantan Tengah hingga ke manca negara, seperti: Surimane, Belanda, New Koledonia dan Pantai Barat Johor (Wedhawati, 2005: 01).
Bahasa Jawa merupakan bahasa yang sangat istimewa dari bahasa lainnya. Keistimewaan itu terlihat dari adanya tingkatan tutur (speech level), ragam ngoko dan ragam bahasa krama (Sasangka, 2007: 103). Ragam ngoko digunakan untuk suasana yang akrab, dan krama untuk suasana yang lebih hormat (formal).
Dalam tataran fonologi, bahasa jawa juga mempunyai keistimewaan yang lain juga terlihat dari alofon fonemnya, baik fonem vokal maupun konsonan. Alofon ialah variasi bunyi bahasa. Sedangkan fonologi ialah cabang linguistik yang membahas bunyi bahasa berdasarkan fungsinya (wedawati,2005:29). Pendapat lain mengatakan bahwa fonologi ialah ilmu yang menyelidiki dan berusaha merumuskan secara teratur dan sistem tentang ikhwal bunyi bahasa serta seluk beluknya (Paina&Sumarlam,1996:01)
Fonem vokal bahasa Jawa terdiri dari 6 fonem, meliputi fonem /a, i, u, e, ə, o/. Sedangkan, fonem konsonannya murni bahasa Jawa tercatat ada 20 buah. 20 buah tersebut  antara lain, fonem /p, b, m, w, ṭ, d, n, l, r, t, d, s, c, j, ñ, y, k, g, ŋ, h, ?/. Bahasa Jawa juga mengenal fonem-fonem dari mancanegara, antara lain /f, x, z, sy, v, kh, q, sh, dz/.
Terlepas dari keistemewaan itu, banyak penutur bahasa Jawa yang kurang mampu dalam menuliskan variasi-variasi bunyi fonem, baik bunyi fonem vokal maupun konsonan. Fenomena ini tidak hanya terjadi dikalangan masyarakat dengan pendidikan menengah kebawah hingga kalangan mahasiswapun turut melakukan kesalahan tersebut.
. Karena luasnya masalah, kajian ini hanya terbatas pada masalah fonem vokal saja. Sedangkan pada fonem konsonan tidak akan dibahas pada kesempatan ini. Pada tatran fonem vokal, ini dapat terlihat dari kasus penulisan berikut. Kata lara (sakit) ditulis loro, sehingga dapat memicu kebingungan dalam memahaminya yang mungkin juga bermakna loro (angka dua). Begitu pula pada fonem konsonan, penulisan babad (sejarah) ditulis babat (daging).
Dalam penulisan alofon atau fariasi bunyi, sesungguhnya apa yang kita dengar belum tentu struktur penulisannya seperti apa adanya (sesuai dengan apa yang kita dengar), tetapi apa yang kita dengar seharus kita tulis sesuai kaidah yang benar (tidak hanya waton nulis).
Pembahasan kesalahan penulisan fonem bahasa Jawa ini hanya akan sampai pada tataran fonem vokal [a, i, u, e, ə] dikarenakan fonem ini merupakan fonem yang paling sering kita jumpai dalam komunilkasi.
Pada fonem /a/, alofon atau bunyi bahasa yang dikeluarkan ada 2, yakni [a] miring dan [Ɔ] jejeg. Penulisan [a] miring seperti pada contoh penulisan ”lara”(sakit), walaupun yang kita dengar ”lƆrƆ”, maka kita tetap harus menuliskan sesuai kaidahnya, yakni memakai [a] miring, bukan menggunakan alofon fonem [Ɔ] jejeg. Apabila ditulis loro, maka ini dapat menimbulkan ambigu, yang dapat bermakna sakit atau angka dua. Selain kata lara, pada fonem /a/ masih banyak lagi kata-kata yang sering kita temuai kekeliruan dalam penulisannya seperti upa, sega, nyawa, dan lain lain, yang penulisannya cenderung upo, sego, nyowo.
Dasarnya penulisan fonem /a/ adalah aksara Jawa atau Dentawiyanjana. Yang memuat 20 huruf Jawa Legena (huruf yang belum mendapat pasangan/vokal). Aksara Jawa tersebut adalah sebagai berikut.
ha           na        ca        ra         ka
da           ta         sa         wa       la
pa           dha      ja         ya        nya
ma          ga        ba        tha       nga
Pada aksara dentawiyanjana, walaupun penulisanya memakai [a] miring tetapi pelafalannya tetap menggunakan bunyi [Ɔ] jejeg.
Dalam penulisan tembung lamba atau kata yang belum mendapat imbuhan pada kata yang memakai fonem /a/, rata-rata menggunakan bunyi /Ɔ/ jejeg. Tetapi [Ɔ] jejeg, dapat berubah menjadi [a] miring apabila mendapat imbuan an, -ana, é/né. Contohnya adalah sebagai berikut.
upa [upƆ] ‘upa + né ‘ = upane [upane] ‘butiran nasinya’
gula [gulƆ] ‘gula + an= gulanan [gulanan] ‘memakai gula’ 
lara [lƆrƆ] lara + né’ = larané [larane] ‘sakitnya’
rega [rәgƆ] rega + néregané [rәgane] ‘harganya’
tapa [tƆpƆ] ’tapa + né = tapané [tapane] ‘tapanya’
segara [sәgƆrƆ] segara + né = segarané [segarane] ‘lautnya
Jadi pada penulisan [Ɔ] jejeg yang sering penulis jumpai dalam masyarakat, pada penulisan upo, gulo, loro, topo, dan segoro adalah belum tepat. Dan seharusnya penulisannya adalah upa, gula, lara, tapa, dan segara.

 Sebagian orang mungkin ingin adanya usaha untuk membetulkan kesalahan tersebut, tetapi di sisi lain banyak yang menganggapnya sudah kaprah (biasa) dan tidak usah dipikirkan, karena hal tersebut tidak ada gunanya dan akan membuang-buang tenaga saja. Hal yang tersebut tidak akan dibiarkan oleh seorang guru bahasa Jawa demi pelestarian dan pembinaan bahasa Jawa pada saat ini dan yang akan datang.
Masalah tersebut adalah jelas, nyata, dan memang harus segera ditangani, agar  sistem penulisan bahasa Jawa dapat berjalan sesuai dengan kaidah menulis yang baku demi kelangsungan bahasa Jawa di masa sekarang dan yang akan datang.

Daftar Pustaka
Paina&Sumarlam. 1996. Fonologi Bahasa Jawa. Surakarta: UNS.
Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2007. Unggah-ungguh Basa Jawa. Jakarta: Yayasan Paramalingua.
Wedhawati, dkk. 2005. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar