Sumber : Saking maneka warna sumber
WAYANG; Membayangi Sejarah Bangsa
Hanonton ringgit manangis asekel
muda hidepan, huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap, hatur ning
wang tresneng wisaya malaha tan wihikana, ri tatwan jan maya sahan-haning bhawa
siluman. (Ada orang melihat wayang menangis, kagum, serta sedih hatinya.
Walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit yang dipahat
berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara. Yang melihat wayang itu umpamanya
orang yang bernafsu keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan kegelapan
hati. Ia tidak mengerti bahwa semua itu hanyalah bayangan seperti sulapan,
sesungguhnya hanya semu saja).
UNESCO, Badan Dunia di Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan telah menetapkan wayang Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia Nonbendawi (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity) yang perlu dilestarikan. Penetapan itu menyiratkan pengakuan bahwa wayang Indonesia adalah karya budaya autentik atau indigenous bangsa Indonesia. Namun, ternyata cukup sulit untuk mendapatkan informasi atau data sejarah yang autentik menyangkut wayang Indonesia. Ini mengingat tradisi (sistem) dokumentasi pada bangsa kita memang lemah.
UNESCO, Badan Dunia di Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan telah menetapkan wayang Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia Nonbendawi (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity) yang perlu dilestarikan. Penetapan itu menyiratkan pengakuan bahwa wayang Indonesia adalah karya budaya autentik atau indigenous bangsa Indonesia. Namun, ternyata cukup sulit untuk mendapatkan informasi atau data sejarah yang autentik menyangkut wayang Indonesia. Ini mengingat tradisi (sistem) dokumentasi pada bangsa kita memang lemah.
Sangat sedikit sumber tertulis
ataupun temuan arkeologis autentik yang bisa memberikan penjelasan dengan data
yang valid tentang hal itu. Petikan bait 59 Kakawin Arjuna Wiwaha karya Pu
Kanwa (1030) yang dikutip di atas bisa disebut satu-satunya sumber tertulis
tertua dan autentik tentang pertunjukan wayang kulit yang mulai dikenal di
Jawa, yaitu pada masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga di Kerajaan Kadiri.
Satu-satunya data arkeologis berupa temuan prasasti pada masa pemerintahan
Rakai Watukura Dyah Balitung (899-911 M) menyebutkan, Sigaligi mawayang hayam
macarita Bima ya kuwara. Ini menjelaskan bahwa pertunjukan wayang (mengambil
lakon Bima di masa muda) untuk keperluan upacara telah dikenal pada masa itu.
Pada masa sesudahnya, zaman Airlangga (1019-1037), wayang telah menjadi seni
pertunjukan untuk umum. Namun, aspek pertunjukan lain sama sekali tidak
tergambarkan.
Walau demikian, besar kemungkinan
(pertunjukan) wayang telah dikenal jauh sebelum itu. Ini mengingat, kisah-kisah
dalam pewayangan berkaitan erat dengan tradisi Hinduisme dan kehadiran agama
Hindu di sini. Makna agama Hindu dan Hinduisme sendiri niscaya jauh lebih luas
daripada sekadar kisah pewayangan belaka. Hinduisme, menurut berbagai sumber
sejarah, paling tidak dikenal di Nusantara sejak abad ke-5 Masehi, di antaranya
pada masa Kerajaan Mulawarman di Kutai, Kalimantan Timur. Kemudian Kerajaan
Tarumanegara di Jawa Barat sebelum Mataram (Medang) di Jawa Tengah pada abad
ke-7. Bahkan, tidak mustahil tradisi Hindu sudah dikenal sebelum itu, yakni
semenjak terjadi proses penghinduan atau indianisasi di seluruh wilayah Asia
Tenggara sekitar abad ke-2 atau ke-1 Masehi. Ini untuk menjelaskan bahwa budaya
wayang telah merasuk dan berkembang sejak lama di tengah masyarakat kita.
KEYAKINAN bahwa wayang merupakan
produk budaya sejati bangsa Indonesia antara lain ditegaskan oleh pakar wayang,
Prof Dr Soetarno, Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Surakarta, yang
di antaranya membawahi Jurusan Pedalangan. Ia menguraikan argumentasinya secara
panjang lebar, baik dari segi sejarah, pengetahuan, konsep estetika maupun
teknis, serta filosofis. Wayang, ujarnya, telah dikenal secara meluas di sini
dalam bentuk relief di candi, pertunjukan, karya sastra, dan tradisi oral.
Menurut Soetarno, istilah “wayang” sendiri mulai disebut pada Bait 664 Kitab
Bharatayudha karya Pu Sedah (1157 M). Juga dalam Kitab Tantu Panggelaran (abad
ke-12) disebutkan tentang wayang yang menggunakan bahan dari kulit binatang
yang ditatah. Adapun kelir (layar) juga telah digunakan pada masa itu (Kitab
Wreta Sancaya). Pada pertengahan abad ke-12, iringan musik untuk pementasan wayang
antara lain berupa tudungan dan saron kemanak. Adapun pada Kitab
Negarakertagama (abad ke-15) disebutkan, iringan musiknya berupa tambur,
gambang, kala, sangha, dan kemanak.
GAJ Hazeu, seorang ahli bahasa dari
Belanda yang meneliti tentang wayang, pada tahun 1897 meyakini pula bahwa
wayang merupakan hasil kebudayaan Jawa. Ini didasarkan etimologi
istilah-istilah yang dikenal dalam pementasan wayang, yaitu dalang, kelir,
wayang, keprak, dan blencong. Secara leksikon, wayang berarti bayangan.
Disertasi Hazeu di atas merupakan hasil penelitian ilmiah tentang wayang yang
pernah dilakukan meski lebih dari sudut linguistik, karenanya juga menjadi
sumber informasi paling valid. Namun, sesungguhnya hingga sekarang amat sedikit
hasil penelitian, baik dari luar maupun dalam negeri, mengenai (sejarah)
pertunjukan wayang. Priyohutomo pada tahun 1933 menulis disertasi berjudul
Nawaruci, juga dari sudut linguistik. Sejumlah sumber tertulis lain seperti
Serat Centhini (1823) dan Sastramiruda (1920) juga menyinggung tentang wayang,
namun itu lebih didasarkan pada tradisi oral sehingga sulit diyakini
validitasnya. Kemudian, Prof Poerbatjaraka dalam Kapustakan Jawi (1952)
memaparkan sejumlah hasil penelitian yang di antaranya mengungkap tentang
sejarah wayang.
Bagaimana bentuk wayang pada masa
itu? Mula-mula, pelukisan sosok wayangnya dibikin “realis” (tiga dimensi),
seperti sosok wayang pada relief di Candi Prambanan (abad ke-10), Jawa Tengah.
Pada masa Majapahit (abad ke-13), bentuk wayang dibikin agak miring (menyamping),
meniru relief di Candi Penataran, Jawa Timur, (bentuk autentiknya bisa kita
lacak pada wayang Bali saat ini). Keberadaan candi-candi di atas menunjukkan
pengaruh kuat agama Hindu di Jawa. Apalagi relief atau arca yang terdapat di
candi-candi tersebut banyak melukiskan fragmen-fragmen cerita “wayang”. Candi
Prambanan memuat kisah epos Ramayana. Candi Sukuh memuat lakon Sudamala dan
Bima Suci yang merupakan bagian dari epos Mahabharata. Candi Panataran, Jawa
Timur, memuat Ramayana dan Kresnayana.
Dalam proses yang panjang, antara
abad ke-11 hingga akhir abad ke-18, pertunjukan wayang kulit purwa tampaknya
terus mengalami perkembangan disertai inovasi-inovasi, baik menyangkut aspek
estetika pertunjukan maupun pemaknaan (filsafat). Proses “penyempurnaan” wayang
hingga ke bentuk yang kita kenal sekarang berlangsung sejak Kerajaan Demak
kemudian Pajang, Mataram, hingga Kartasura. Mulai masa Kerajaan Demak (abad
ke-15), tokoh wayang di atas kulit binatang mengalami stilisasi, yaitu
sepenuhnya miring (dua dimensi). Ada yang menyebutkan bahwa perubahan tersebut
akibat pengaruh agama Islam yang dalam syariahnya menolak pencitraan manusia
secara “realis”. Pada masa itu, Sunan Kalijaga konon sangat berperan dalam
inovasi pertunjukan wayang kulit ini. Kalijaga yang juga piawai mendalang
memanfaatkan media tersebut untuk menyampaikan dakwah.
Pada masa Demak itu, sosok wayang
dilengkapi dengan anggota tubuh (tangan) yang bisa digerakkan atau “lepas”
(dengan sumbu pada lengan) seperti sekarang. Diciptakan pula ricikan berupa
senjata dan hewan sehingga pertunjukan lebih menarik. Estetika menyangkut seni
rupa wayang menunjukkan terjadinya inovasi dari waktu ke waktu, baik menyangkut
sosok wayangnya sendiri maupun teknik permainannya. Para seniman perupa pada
masa itu menuangkan kreativitas mereka dalam berbagai kreasi dan setiap wilayah
(komunitas) menemukan kekhasan mereka sendiri. Apakah itu menyangkut karakter
sosok, wanda, ukuran tinggi, gelung, ornamen, aksesori, tatahan, sunggingan
(pewarnaan), hingga ke gaya pedalangan.
ALHASIL, dari data sejarah di atas
dan proses perkembangan yang dialami, berbagai pihak meyakini bahwa wayang
adalah karya budaya “asli” karena lahir dan mengalami proses panjang di
Indonesia. Meski tidak diingkari bahwa cerita-cerita pewayangan berasal dari
tradisi Hinduisme di India, sebagai produk kebudayaan, wayang mengalami proses
“pencanggihan” sendiri di bumi nusantara. Kompleksitas dan intensitas proses
pencanggihan pada pertunjukan wayang yang meliputi berbagai aspeknya itu
agaknya tidak kita kenal pada produk budaya yang lain di nusantara.
Wayang bukan hanya sebatas seni
pertunjukan, tetapi juga telah menjadi satu kebudayaan yang tak terpisah dari
terbentuknya peradaban bangsa Indonesia. Melalui wayang, kita melihat suatu
proses kebudayaan yang menurut para ahli, “tidak terjadi di ruang kosong”.
Wayang berkembang menjadi ekspresi budaya yang autentik bagi bangsa Indonesia.
Selain di Jawa dan Bali, wayang sempat berkembang di Kalimantan, Sumatera, dan
Lombok. Secara obyektif, wayang yang berkembang di Indonesia berbeda cukup
signifikan dengan wayang yang ada di India (ataupun di Thailand). Termasuk
aspek-aspek pertunjukan yang menyertainya, yaitu menyangkut susastra, iringan
musik (karawitan), dramatisasi atau seni pemanggungan. Sementara dari sisi pemaknaan,
wayang telah mengendapkan nilai-nilai filosofis yang mengekspresikan sekaligus
merepresentasikan peri kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan, dalam
perkembangannya, kisah-kisah wayang yang tercipta dan kemudian memasyarakat
merupakan hasil local genious.
Kakawin Arjuna Wiwaha, misalnya,
berbeda dari cerita aslinya dalam Mahabharata di India. Arjuna Wiwaha ditulis
oleh Pu Kanwa sebagai metafora perjalanan hidup Raja Airlangga. Dengan
menyebutkan Airlangga sebagai titisan Wisnu, karya sastra ini menjadi legitimasi
bagi Airlangga untuk memegang tampuk kekuasaan. Begitu pula dengan
Bharatayuddha gubahan Pu Sedah dan Pu Panuluh (1157 M) yang berbeda dari
aslinya. Dan pada pertengahan abad ke-19, Mangkoenagoro IV menciptakan kisah
Dewa Ruci. Ini kisah Bima yang mencari air amerta dan disimbolkan sebagai
pencarian akan sangkan paraning dumadi (asal-usul kehidupan), satu laku mistik
khas Jawa.
Sebagai hasil interaksi, budaya
wayang mempengaruhi segala ekspresi keseharian masyarakat, termasuk dalam
pembentukan adat istiadat, tradisi, filsafat, ajaran-ajaran moral, dan etika.
Pada masa itu, hubungan antara pertunjukan wayang dan masyarakat niscaya bukan
sekadar interaksi antara publik dan tontonannya belaka. Ini pada gilirannya
memberikan pengaruh bagi pembentukan nilai-nilai yang kompleks dalam tatanan
sosial serta ketatanegaraan. Wayang pada masanya merupakan bagian tak terpisah
dari kepercayaan Hinduisme. Barangkali bisa diibaratkan, agama Hindu sebagai
daging, sedangkan wayang sebagai aliran darahnya. Wayang bagi masyarakat ketika
itu bukan semata-mata mitologi (kisah para dewa), melainkan telah menjadi
bagian dari kosmologi (dunia pikir) yang memiliki pengaruh kuat dalam
menentukan kehidupan sehari-hari. Barangkali, secara mudah di zaman ini kita
bisa meniliknya pada peri kehidupan umat Hindu di Bali.
DARI zaman ke zaman, inovasi dan
kreasi-kreasi dari berbagai aspek pertunjukan wayang ini mengalami perkembangan
secara intensif. Pertunjukan wayang sendiri kemudian juga mengalami keragaman
bentuk dan media. Selain wayang kulit purwa (dengan kisah Ramayana dan
Mahabharata), ada pula wayang beber (kisah Panji). Kemudian dikenal wayang
madya (zaman sesudah Parikesit), wayang gedog (siklus Panji), wayang klithik
(kisah Damarwulan), wayang golek (dari Serat Menak), wayang dupara (Babad
Mataram II), wayang krucil (kisah Damarwulan), wayang kancil (fabel), wayang
perjuangan (1945), wayang suluh (1945), wayang pancasila (1947), wayang wahyu
(1960), wayang buddha (1979), wayang sandosa (1980), wayang sadhat (1984),
wayang kampung (2002), dan wayang sang pamarta (2003).
Belum lagi yang mengambil bentuk
atau media pertunjukan lain, seperti wayang orang, wayang topeng, langen mandra
wanaran, sendratari wayang, wayang jemblung. Dan dalam bentuk kontemporer
muncul kreasi wayang nggremeng, wayang suket. Setelah kemerdekaan, wayang juga
dikenal lewat komik antara lain oleh pelukis RA Kosasih, Ardisoma, Urip, Indri
S, Effendi, Jan Mintaraga, dan Teguh Santosa. Wayang pernah dibikin lewat media
film, sinetron di televisi, belakangan lahir pula wayang multimedia, wayang
animasi, wayang listrik, wayang cyber. Dan tak kurang pula teater modern yang
mengambil inspirasi cerita dari kisah pewayangan, begitu juga dalam bentuk
cerita pendek dan novel.
Wayang agaknya akan terus mengilhami
ekspresi-ekspresi budaya dalam beragam bentuk dan media di Indonesia. Bentuknya
bisa berubah dan mengalami metamorfosa di luar perkiraan kita. Namun, lebih
dari itu, kosmologi wayang tampaknya akan terus memberikan jejak pengaruh cukup
jelas dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.(Ardus M Sawega) SAKING MANEKA WARNA SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar